Orang Baik
Sepulang sekolah aku memesan satu mangkuk mie ayam bakso di Warung Bakso Mas Aji. Sebetulnya aku hendak pulang lebih cepat, aku sudah berjanji dengan Haru untuk menemaninya ke toko buku. Aku yakin ia sudah menunggu. Mengikuti saran pacarnya, ia ingin membaca KonMari agar mengurangi kebiasaannya membuang uang dengan belanja benda-benda yang tidak berguna. Untuk hal yang satu itu aku sepakat. Namun sepertinya hal itu bisa ditunda dulu, yah paling tidak sampai aku bisa mencerna apa yang barusan kudengar di ruang guru tadi.
Setelah mendengar percakapan yang semestinya tidak kudengar, aku mendadak lapar. Perutku menginginkan sesuatu. Maka di sinilah aku, berharap dengan mencerna sesuatu, apa yang kucuri-dengar bisa tercerna dengan baik pula. Atau kalau tidak, setidaknya aku kenyang.
Dari posisi dudukku, aku bisa mendengar deru mesin butut angkutan umum berwarna kuning itu. Supir angkutan itu berulang kali mengelap tengkuknya sebelum akhirnya pergi. Aku ingin percaya ia berkeringat karena terik matahari. Namun jauh lebih masuk akal hujan es yang turun ketimbang bulir keringat supir itu, mengingat awan terlalu gelap untuk matahari muncul dan membuatmu gerah. Maka aku jauhkan pikiran tentang matahari atau supir itu, sebab pramusaji telah tiba di mejaku.
“Satu mangkuk mi ayam bakso dan teh manis dingin.” Pramusaji itu, seorang perempuan muda, menjelaskan pesananku sambil menghamparkannya di meja.
“Terima kasih,” ujarku.
Dengan senyum tipis ia membalasnya dan kemudian berbalik menuju dapur dan kini satu-satunya yang berhadapan langsung denganku di meja ini adalah semangkuk mie ayam bakso dan teh manis dingin. Aku menarik napas dan udara yang masuk ke saluran pernapasan berisi bawang goreng, saus botolan, kecap asin, ayam kecap, bakso urat, dan kehangatan yang dimiliki keluarga dua meja di sampingku. Aku ingin bergabung dengan mereka, tapi membayangkan orang asing tiba-tiba muncul dan duduk di tengah-tengah keluargamu tentu akan membuatmu tidak nyaman atau itulah yang akan aku rasakan kalau jadi mereka. Maka kuputuskan untuk tidak beranjak dari mejaku.
Lagipula tujuanku di sini bukan itu. Aku ke sini untuk memikirkan ulang apakah yang kudengar tadi nyata atau hanya bagian dari lamunanku. Aku sering melamun, Haru berkali-kali mengingatkanku untuk berhenti sebelum lamunanku merusak apa-apa yang nyata. Sekarang aku sedang meragukan kenyataan yang barusan kualami.
Aku berakhir di tempat ini setelah mendengar sesuatu yang aku yakini seharusnya tidak kudengar. Seperti krim pemutih di atas kue tart, aku merasa tidak pada tempatnya. Tidak seharusnya aku ada di situ. Tidak seharusnya aku mendengar semua itu.
Sejujurnya aku tidak terlalu kaget mendengar percakapan semacam itu. Di antara teman-temanku, aku sudah akrab dengan rumor serupa. Tapi yang membuat ini terasa berbeda aku mendengarnya langsung, dan dari seseorang yang aku percaya tidak akan pernah mau mengotori tangannya untuk hal seperti itu. Detik itu, seperti gedung-gedung tua yang fondasinya sudah lapuk, kepercayaanku padanya runtuh seketika.
Aku tidak ingin jadi orang yang judgemental, aku tidak ingin menghakiminya. Tapi mendengar sebuah kezaliman terjadi dan seseorang yang terlibat adalah seseorang yang kau yakini sebagai orang paling terakhir yang akan melakukannya merupakan bencana yang tidak pernah aku harapkan terjadi secepat ini.
Aku ingin marah dan melakukan hal yang semestinya kulakukan. Menghantam wajahnya. Namun aku tidak melakukannya, aku berlalu tanpa suara dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Aku terlalu takut melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Aksi heroik semacam itu aku yakin juga tidak akan mengubah banyak hal. Hal serupa akan terjadi lagi di lain hari dengan atau tanpa aku mengetahuinya.
Tapi kenapa harus dia? Mengapa bukan orang lain saja. Mengapa seseorang yang lurus seperti dirinya, seseorang yang senang bicara tentang moral harus jadi seseorang yang melakukan hal yang jauh bertolak belakang dari apa yang sering ia bicarakan? Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Aku ingin percaya bahwa bukan ia yang salah, bahwa ia hanya terjebak di lingkungan yang buruk, lingkungan yang dengan santainya mewajarkan hal-hal yang berpotensi membuatmu jadi orang pertama yang ditendang ke palung neraka.
Aku ingin percaya itu semua. Aku ingin percaya bahwa ia tetap orang yang berada di jalan Tuhan. Tapi semburat senyum di wajahnya menyiratkan hal lain. Aku tidak ingin berkesimpulan terlalu jauh, namun begitulah yang kulihat.
Andai aku mengiyakan ajakan Ivan untuk membolos, aku tidak akan sampai pada persoalan ini. Aku tidak akan sampai pada dilema moral seperti ini. Namun aku lebih memilih menjadi murid teladan, jadi yang paling akhir pulang, dan membantu guru biologi merapikan laboratorium. Lalu berjalan di lorong sekolah tanpa memikirkan hal-hal besar, cuma hal-hal remeh; tentang kenapa gedung sekolah berwarna kusam, kenapa dua orang temanku tidak terlihat senang meski memenangkan suatu kejuaraan, hal-hal semacam itu. Sampai aku melewati ruang guru dan mendengar percakapan itu. Dan mendadak aku seperti menemukan jawaban, juga pertanyaan-pertanyaan.
“Aku sangat ingin melaporkannya, kau tahu,” kataku sambil menepuk-nepuk bokong celana jinsku. Aku bangkit dan dengan segera Ivan mengikutiku.
“Tapi aku tidak ingin terlibat terlalu dalam. Aku juga tidak tahu prosedur macam apa yang akan aku lalui andai aku memutuskan untuk melapor, yang jelas itu akan sangat merepotkan. Kalau itu terjadi saat ini, barangkali aku akan mempostingnya di sosial media dan berharap orang banyak akan mengetahui. Namun cara apapun yang kupilih, pada akhirnya aku akan berhadapan dengan sesuatu yang lebih besar dari diriku. Itu jelas akan sangat merepotkan dan… melelahkan. Jadi yah, seperti dugaanmu aku berusaha melupakannya saja.” Aku menjelaskan sambil melangkah menuju tempat motorku di parkir.
Sama sepertiku ketika pertama kali mendengar percakapan itu, Ivan tampak butuh waktu untuk mencerna apa yang kusampaikan. Tidak masalah, aku bisa memaklumi. Satu kebenaran terasa begitu rumit ketika kebenaran itu membuatmu perlu membongkar ulang seluruh gambaran yang kamu punya tentang seseorang.
Aku jelaskan pada Ivan mengapa setelah bertahun-tahun lewat aku tidak pernah menceritakan hal ini kepada orang lain, “Karena semua orang tahu dia orang baik.”
“Dan kau tidak ingin merusak reputasinya?” tanya Ivan.
“Tidak juga. Aku cuma tidak siap menghadapi respon orang-orang. Kau tahulah, orang-orang tidak pernah bisa menerima kebenaran. Dan aku tidak punya bukti yang cukup valid untuk membuktikan apa yang aku dengar.”
“Kau takut kalah,” kata Ivan singkat.
“Semacam itulah,” jawabku.
Ketika sholat telah dilakukan, seorang alim ulama memimpin doa dan bertanya kepada seluruh jamaah yang turut hadir bagaimana kesaksian mereka—kesaksianku—terhadap jenazah di hadapan kami.
“Apakah beliau orang baik?”
Baik. Serentak semua orang menjawab.
“Apakah beliau orang baik?”
Baik.
“Apakah beliau orang baik?”
Baik.
Aku ada di antara mereka dan tidak menjawab satupun pertanyaan itu. Jenazahnya sudah dikubur tidak jauh dari tempatku dan Ivan berdiri. Ia berbaring di sana dan beberapa hal masih tertinggal di dunia.